Pages

Wednesday, April 10, 2013

Retorika Senja

Bersama petang keagungan semesta, aku menulis.
Diantara jarak kampus dan rumah, aku berpikir.

Kamuku masih kamu yang dulu, yang sempat kujanjikan takkan kutulis lagi. Tapi, gelombang suci maha keren menggugurkan janji jadi seucap basi.
Asa bahkan tak pernah bayangkan jika kamu akan sering kubahas. Dalam sajak paling rindu berbalut guyuran hujan. Dalam tata cerita impian pengiring lelap malam. Dalam sejengkal langkah menuju cita. Juga dalam lamunan sepi ruang kelas.
Kamu adalah duluku yang hanya sekilas mata pernah menatapku dan bersambut tatapan heran menyelidik dariku. Lalu sekarang dan kemudian, aku menjadi orang paling ingin tahu bagaimana-mu.
Masa itu pernah ada. Punyaku juga milikmu. Tanpa ada gelombang suci maha keren. Hanya klik mata saja, hanya desakan bahagia telah jumpa yang terjebak ujung bibir. Tapi kita, maksudku, pikiranku dan pikiranmu sama. Sama-sama ingin ada perjumpaan setelah itu. Setelah aku melihatmu diujung sekian meter dan kamu juga melihatku diujung sekian meter berlawan arah. Sedang saling mengamati satu sama lain. Pupil matamu selalu menunjukku, mengikuti kemana perginya aku. Dan aku tahu itu, wahai kamu.
Kali ini semesta mendukung sedihmu. Turut berduka atas patahnya hati yang pernah bahagia. Semoga ia kau simpan ditempat yang benar. Yang gelap, sempit, dan tak bisa terusik. Aku harap tempat itu mampu membuatnya tak bangkit. Harapan yang diselipkan pada doa paling nelangsa untukmu, dari aku.
Pun walau aku tak mau diperlakukan seperti itu jika aku dan kamu akan berakhir sama. Semua makhluk berakal kurasa punya sisi itu. Sisi paling ingin memiliki dan dimiliki diwaktu yang tidak tepat.
Semoga kamu tahu bahwa aku sedang menunggu. Menunggu sapaan dari bibir merahmu. Menanti ajakan  makan siangmu. Bersama tersenyum malu atas tatapan mata yang selurus. Aku ke kamu, kamu ke aku. Terlalu dusta jika masih berbicara dengan kira saja. Lalu bagaimana bisa tahu pastinya? Lagi-lagi hanya kamu yang tahu jawabnya.
Disini, diantara ketakutan akan perih berlebih oleh "Memangnya kamu siapaku."-milikmu, aku memilih berkata lebih dulu. Berkata dalam bendung tinta hitam yang tak tercetak. Hingga kamu bisa memblok lalu menyalinnya dikumpulan harapanmu atau memblok klik kanan delete karena ini terlalu sampah? Silakan pilih, itu hakmu.

Masih dalam harapan yang sama. Kamu membaca ini tanpa bertanya "Apa maksudnya?". Dari aku yang terlalu dini untuk menyebutmu php. (re: pemberi harapan palsu)

Dan gelombang suci maha keren itu kusebut cinta.

2 comments:

  1. bahwa memang hanya dengan sebuah tatapan mata, sesederhana itu mampu membuat seseorang mimiliki ribuan arti.

    ReplyDelete